Minggu, 30 Januari 2011

sejarah sumba




info tentang Sumba

 
agama  geografi  iklim  cara mempertahankan hidup  sejarah  orang sumba




Agama

Agama Kristen bergabung dengan kepercayaan Marapu.
Di Sumba, dua agama yang berbeda bergabung dalam cara yang khas. Didalam menara rumah Marapu yang cukup mengesankan, hadir dunia arwah bagi nenek moyang, namun didalam rumah orang Sumba, anda akan menemukan gambar Yesus tergantung didinding rumah. Sekitar 65 persen masyarakat Sumba yang resmi tercatat sebagai penganut agama Kristen dan 35 persen adalah penganut kepercayaan Marapu. Hal ini tidak berarti bahwa di Sumba ada lebih banyak orang Kristen dibandingkan dengan penganut kepercayaan Marapu. Sejak tahun 1965, warga negara Indonesia diwajibkan untuk menganut salah satu dari lima agama yang diakui secara resmi oleh pemerintah yaitu: Islam, Katolik, Protestan, Hindu dan Budha. Marapu tidak diakui oleh pemerintah sebagai sebuah agama. Siapapun yang ingin bekerja sebagai pegawai negeri harus terlebih dahulu mendaftarkan diri sebagai penganut agama Kristen, karena agama inilah yang paling kuat pengaruhnya di pulau Sumba. Hampir semua pemeluk agama Kristen juga masih tetap berpegang pada prinsip kepercayaan tradisional Marapu.
Marapu adalah kepercayaan asli orang Sumba. Elemen yang terpenting dari kepercayaan Marapu adalah bagaimana menjaga keharmonisan antara arwah nenek moyang dengan orang yang masih hidup. Orang Sumba memberikan persembahan berupa makanan, hewan ataupun benda yang lainnya kepada nenek moyang mereka dan sebagai tanda terima kasih, mereka percaya bahwa arwah nenek moyang membawa kesuburan dan kemakmuran bagi mereka.

Geografi

Pulau Sumba berada didalam wilayah Propinsi Nusa Tenggara Timur. Selain Sumba, propinsi ini mencakup pulau-pulau lainnya seperti Flores, Timor, Sabu, Rote dan Alor. Bersama propinsi Nusa Tenggara Barat, Nusa Tenggara Timur membentuk bagian tengah wilayah Indonesia. Luas wilayah NTT adalah 47.876 km dengan jumlah penduduk 3.209.000 jiwa. Dengan jumlah penduduk sekitar 600.000 jiwa, Sumba merupakan salah satu pulau yang terbesar di wilayah ini. Pulau Sumba terbagi atas dua kabupaten yaitu Sumba Barat dan Sumba Timur. Ibukota kabupaten Sumba Barat adalah Waikabubak dan ibukota kabupaten Sumba Timur adalah Waingapu.

Iklim

Pada siang hari, terutama di musim kemarau, matahari selalu bersinar sepanjang hari sehingga suhu udara bisa menjadi sangat panas. Pada malam hari, angin laut bertiup ke darat, hal mana cukup baik untuk mendinginkan pulau Sumba. Suhu rata-rata adalah 27° C dengan musim hujan yang berlangsung dari pertengahan bulan Nopember hingga pertengahan bulan Mei. Dalam bulan Agustus dan September, angin kering bertiup dari arah benua Australia, dan sebagai akibatnya, pulau Sumba mengalami musim kering selama dua bulan ini.

Cara mempertahankan hidup

Nusa Tenggara adalah wilayah dengan curah hujan yang paling rendah di Indonesia, dan khususnya Sumba Timur merupakan daerah yang paling tandus dan berbatu-batu. Bertolak belakang dengan bagian utara Indonesia yang terbentuk dari gunung api, pulau Sumba tidak terbentuk dari letusan gunung api namun dari sedimentasi batu karang laut. Karang laut dibagian selatan Indonesia merupakan salah satu obyek pemandangan bawah laut yang terindah didunia. Pulau Sumba terletak di laut Sabu dan daerah pantainya sangat cocok untuk kegiatan berselancar dan menyelam. Beberapa bagian dari wilayah pantai pulau ini cukup berpotensi untuk mendapatkan pemasukan dari industri pariwisata. Tanah Sumba yang mengandung zat kapur tidak begitu subur dan di beberapa bagian wilayah pulau ini, adalah hal yang tidak mungkin untuk menanam padi sawah. Sebagian besar wilayah Sumba Timur berbentuk sabana dengan padang rumput. Karena itu kebanyakan penduduk Sumba Timur hidup dari beternak (kerbau, sapi, babi dan kuda) dan menangkap ikan bagi penduduk yang tinggal di daerah pesisir. Penduduk Sumba Barat memiliki lebih banyak lahan pertanian dengan irigasi yang cukup memadai dan mereka bercocok tanam padi, jagung, sayuran, kopi dan kelapa. Pengolahan tanah lebih banyak masih dilakukan dengan cara tradisional dengan bantuan tenaga kerbau dan kuda. Hampir tidak ada hasil bumi yang bisa diekspor keluar pulau. Hasil bumi yang ada biasanya untuk konsumsi sendiri dan untuk dijual di pasar setempat. Di masa lampau, kayu manis dan kayu cendana merupakan barang ekspor andalan, namun, karena persediaan kedua jenis kayu ini semakin menipis, kegiatan ekspor keduanyapun dilarang oleh pemerintah. Kawasan penghasil kayu saat ini seluas 1.667.962 hektar. Rotan, damar, bahan pewangi, kayu jati dan meranti dihasilkan di kawasan ini. Dalam skala yang sangat kecil, anda bahkan bisa menemukan adanya kegiatan pertambangan di daerah ini. Beberapa produk seperti minyak tanah, batubara dan tembaga diproduksi di Sumba.

Sejarah

Orang Sumba yang juga dikenal sebagai “Marapu” membentuk suku atau kelompok sosial masyarakat dengan struktur masing-masing dilengkapi dengan adat istiadat yang menyangkut kelahiran, perkawinan, tatacara menjalankan upacara adat dan acara penguburan. Dewasa ini Sumba memiliki budaya yang sangat khas.
Pada abad ke XIV, pulau Sumba merupakan wilayah kerajaaan Majapahit. Setelah kejatuhan dinasti Majapahit, Sumba dikuasai oleh Sultan Bima dari Sumbawa dan kemudian oleh Sultan Gowa dari Sulawesi. Perubahan penguasa hampir tidak ada pengaruhnya terhadap kehidupan sehari-hari orang Sumba saat itu. Kehidupan mereka lebih banyak dipengaruhi oleh perang antar suku dan kegiatan perdagangan manusia antar kampung. Dalam perang suku ini, para prajurit memenggal kepala musuh mereka dan kepala musuh ini dibawa pulang dan ditancapkan ke sebuah tiang ditengah-tengah kampung. Pada waktu itu, mereka masih percaya bahwa kepala musuh yang dipenggal bisa membawa panen yang baik maupun kemakmuran bagi kampung mereka. Orang Sumba masa itu juga suka menculik warga dari kampung lain dan memaksa mereka untuk bekerja sebagai hamba di kampung-kampung yang lainnya lagi.


 
 

 

Kadang-kadang hamba-hamba ini diperdagangkan ke pulau-pulau lainnya seperti Lombok, Bali dan Sulawesi. Karena adanya perang suku dan aksi penculikan manusia seperti ini, orang-orang Sumba dimasa lalu membangun rumah mereka di puncak bukit dan membuat pagar batu mengelilingi perkampungan sebagai alat pelindung terhadap serangan dari luar. Pada masa itu warga yang menghuni pulau-pulau lainnya menganggap Sumba sebagai pulau dengan warga yang liar dan penuh kekerasan. Pada tahun 1756, VOC dan bangsawan Sumbawa membuat dan menandatangani sebuah perjanjian. Pada abad ke XVIII, orang Belanda menemukan adanya kayu cendana dan mereka mulai memasuki pulau Sumba. Pada tahun 1906, Belanda mulai menduduki pulau ini karena perang antar suku pada waktu itu dinilai cukup mengganggu kegiatan perdagangan mereka. Pertama-tama, Belanda membentuk penguasa militer yang orang Belanda dan pada tahun 1913 mereka menunjuk seorang penguasa lokal, dengan demikian mereka hanya memerintah pulau ini secara tidak langsung. Pada masa Perang Dunia ke II, ibukota kabupaten Sumba Timur sekarang Waingapu dibom oleh pasukan Jepang dimana sekitar 3000 orang Sumba tewas menjadi korban. Setelah Sukarno memproklamasikan kemerdekaan Republik Indonesia pada bulan Agustus tahun 1945, berita tentang kemerdekaan baru sampai ke pulau Sumba enam bulan kemudian. Saat pemerintah Republik Indonesia mengambil alih pulau Sumba pada tahun 1950, penguasa lokal tidak diakui lagi. Namun karena kemampuan mereka beradaptasi dengan sistim pemerintahan yang baru, keluarga bangsawan dari masa lampau masih tetap menjadi anggota masyarakat yang kaya dan berpengaruh. Bahkan hingga saat inipun, kehidupan di Sumba hanya dipengaruhi oleh peristiwa atau kejadian yang terjadi di Sumba. Bagian barat maupun wilayah lain Indonesia hampir tidak punya pengaruh langsung terhadap pulau ini. Dengan demikian orang Sumba mampu untuk memelihara tradisi, budaya dan agama mereka.

Orang Sumba

Orang Sumba masa kini tidak berbeda jauh dengan orang Sumba dimasa lalu. Mereka mampu melestarikan bahasa dan budayanya walaupun tak henti-hentinya diduduki dan dikuasai oleh pulau-pulau lain. Ada tiga bahasa yang dipergunakan di pulau Sumba, dua bahasa di Sumba Barat dan satu bahasa di Sumba Timur. Kedua bahasa di bagian barat terbagi lagi atas delapan dialek.
Orang Sumba mudah untuk dikenal dari cara berpakaiannya. Kaum pria mengenakan kain tenun ikat “Hinggi” dililitkan kepinggang dengan ikat pinggang dan parang yang ditancapkan kedalam kain tenun dan ikat pinggang. Mereka juga memakai ikat kepala yang dibuat dari tenun ikat. Kain ikat ditenun menggunakan motif binatang dan manusia. Di Sumba Timur, umumnya tenun ikat berwarna dasar hitam dengan motif berwarna dan di Sumba Barat dengan warna dasar biru. Kaum wanita juga mengenakan kain tenun ikat namun jenis dan bentuknya berbeda yang berupa sarung.
Salah satu ciri orang Sumba adalah keahlian mereka yang luar biasa dalam hal menunggang kuda. Anak-anak sudah mulai belajar menunggang kuda sejak masih kecil. Ketika beranjak dewasa, mereka menunjukkan keahlian ini lewat keikutsertaanya dalam tradisi perang berkuda “Pasola”.
Kebanyakan orang Sumba masih tetap tinggal di kampung atau desa kelahiran mereka dan kaum wanita mengikuti suami atau tinggal di kampung suami mereka. Sebuah kampung biasanya terdiri dari sebuah halaman besar dengan batu-batu kubur dan rumah-rumah besar beratap marapu (rumah menara) membentuk sebuah lingkaran mengelilingi halaman. Rumah tradisional Sumba wewakili tiga dunia penting dalam kehidupan orang Sumba: Dunia binatang adalah tanah dibawah kolong rumah dimana binatang peliharaan mereka hidup, dunia orang hidup berada di tengah-tengah dimana pemilik rumah dan keluarga tinggal, dan dunia arwah di tingkat ke tiga dimana arwah nenek moyang berdiam.
Pada umumnya, kampung-kampung di Sumba tidak begitu makmur kehidupannya. Kemakmuran bagi masyarakat Sumba biasanya bisa diukur dengan jumlah hewan (kerbau, sapi dan kuda) yang ada di kampung begitu juga dengan luasnya lahan yang dimiliki. Beberapa kampung harus menjual habis ternak mereka dimasa lampau sehingga tingkat kemakmuran warganyapun menjadi semakin merosot. Yang sering terjadi adalah anak-anak Sumba tidak bisa masuk sekolah. Penyebabnya adalah karena mereka harus tinggal di rumah untuk membantu orang tua mereka mengolah sawah atau kebun karena orang tuanya tidak punya uang untuk menyekolahkan mereka. Anak-anak yang tidak berpendidikan tidak memiliki masa depan yang baik karena tidak semua anak yang berasal dari satu keluarga bisa mewarisi tanah milik ayah mereka. Anak-anak yang tidak memiliki tanah maupun pendidikan seperti inilah yang bakal menjadi penganggur.
Di masa lampau, Sumba mengenal tiga sistim pengelompokan dalam masyarakat yaitu kaum bangsawan, petani dan budak/hamba (maramba, kabisu, ata). Sistim seperti ini tidak berlaku lagi pada masa kini, namun pengaruhnya masih bisa dilihat dari tingkat kemakmuran keluarga tertentu dalam masyarakat hingga saat ini. Keluarga-keluarga keturunan bangsawan masih cukup kaya dan cenderung lebih makmur kehidupannya dibandingkan dengan orang kebanyakan. Angka kematian bayi di Sumba masih relatif tinggi karena banyak anak yang kekurangan bahan makanan yang bergizi maupun air bersih. Obat-obatan juga sangat sulit untuk didapatkan. Pulau Sumba pernah menerima bantuan dari pemerintah pusat disaat terjadi kelaparan karena gagal panen. Ribuan ton beras pernah didrop dari Jawa ke Sumba namun karena pemerintah pusat dihadapkan pada krisis moneter dan politik yang terjadi secara bersamaan beberapa tahun yang lalu, bantuan untuk Sumbapun terhenti. Sumberdaya alam yang tersedia di pulau ini juga sangat terbatas dan pemerintah pusat tidak mampu lagi untuk mengirimkan bantuan yang memadai untuk warga Sumba.


 
 
   
     

 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar